takkan pernah menyerah untuk pulang ke rumah

April 9, 2009 at 1:35 am (Uncategorized)

Aku duduk, berdiri, duduk, berdiri lagi. Dalam dingin malam yang menusuk aku merasa sepi dalam ramai. Menunggu kereta terakhir yang kan membawaku pulang, setelah sebelumnya terdesak keluar karena tak kuat bersaing dengan ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak sekolahan yang begitu ingin pulang ke rumah. Aku tercengang dengan pemandangan ini, mungkin mereka semua pulang untuk turut mennentukan nasib bangsa ini dengan memilih orang tidak dikenal, atau hanya sekedar melewatkan liburan panjang dengan santai?? Ah, entahlah. Yang jelas kereta terakhir berarti penantian, dan penantian berarti perenungan.

Harapan timbul dan tenggelam bagaikan osilasi warna dalam reaksi kompleks Briggs-Rauscher: biru, bening, kuning, biru, bening, kuning. Bergerak naik-turun seperti grafik sinus, tak pernah menuju suatu nilai tertentu, tak tahu bagaimana akhirnya. Sesungguhnya keadaan seperti ini adalah keadaan yang sangat kubenci. Kenapa aku tak bisa membiarkan semuanya berlalu?? Kenapa tak bisa kukendalikan harapan ini?? Sungguh bosan aku mengartikan isyarat-isyarat tanda yang berjuta misterinya terus menerus muncul di depan mataku tanpa henti. Aku bosan terus-menrus mencari arti dari sesuatu yang biasa saja, sebenarnya. Aku bosan mendramatisir semuanya. Aku ingin memberi, hanya ingin memberi. naif.

Kereta datang berselang, tapi tak satupun menuju arah yang kutuju. Tak satupun membawaku pulang. Mereka bilang saatnya menyerah, saatnya memutar arah. Tapi untuk apa?? untuk merasakan sakit yang sama?? untuk melihat semuanya terulang lagi secara kejam dan menyakitkan?? Ingin kuakhiri rasa sakit ini, tapi ternyata aku harus melibatkan rasa sakit juga dalam prosesnya. Rasa sakit dan gelisah ini hanya aku, sendiri. Di seberang sana dia mungkin bernyanyi, tak peduli, atau mungkin mengurusi rasa sakitnya sendiri. Pesimisme adalah musuh terbesarku sekarang, tapi mau tak mau rasanya aku jadi pesimis bila aku realistis. Lalu aku harus melakukan apa?? terus berlari menerjang dengan tak peduli?? ya, aku ingin tak peduli. Aku ingin hidup di tanah para pemimpi. Kereta lewat lagi, namun terlalu cepat untuk dinaiki. Sudah habis nama binatang yang kupakai, aku terlalu mengantuk dan lelah untuk memaki.

Aku tidur berdiri, di tengah-tengah orang-orang bermata sama. Kepala menunduk lelah, setengah sadar aku berjalan. Dalam lautan manusia. Ingin kuteriak, tapi aku bingung apa yang akan kuteriakkan?? Kututup mata, berharap ketika membuka aku sudah berada di depan pintu rumah. Tapi tetap kurasakan dingin yang sama, sepi yang sama, asap rokok yang sama. Sungguh aku muak.

Aku belum menyerah untuk pulang ke rumah……

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar